Month: December 2019

Tokoh-Tokoh Sastrawan Dunia

Tokoh-Tokoh Sastrawan Dunia

Tokoh-Tokoh Sastrawan Dunia – Pada abad yang ke-19, dapat dikatakan karya satra dunia yang lahir pada abad itu berkiblat ke sastrawan Eropa. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya beberapa sastrawan dari daratan Benua Biru tersebut. Akan tetapi tidak jarang sastrawan pada zaman itu terlahir dari Amerika bahkan Asia. Berikut ini adalah tokoh-tokoh sastrawan dunia ternama yang sampai pada saat ini karya-karyanya masih bisa kita nikmati.

1. Victor Hugo

Victor Hugo dilahirkan pada tanggal 26 februari 1802, di Besancon, Prancis dengan nama lengkap Victor Marie Comte Hugo. Meninggal pada usia 83 tahun pada tanggal 22 mei 1885. Hugo merupakan anak dari seorang jendral di zaman Napoleon bernama Joseph Leopold Sigisbert Hugo. Beliau pernah menjadi gubernur Spanyol dan Italia. sbobet365

Sejak umur 15 tahun Hugo telah menulis puisi. Pada tahun 1817, Hugo mendapat pujian sayembara yang diadakan Akademia Prancis dan tahun 1819 memperoleh hadiah sastra dari Academia des Jeux Floraux de Toulouse. judi bola

Tokoh-Tokoh Sastrawan Dunia

Karya-karya Hugo sangat fenomenal dan mendominasi seluruh abad 19 hingga menduduki posisi terhormat dalam sastra Prancis. Ia merupakan pemuka aliran romantik baik dalam puisi maupun prosa dengan menerbitkan kumpulan puisi yang bertajuk Odes et Ballades pada tahun 1822. Tahun 1823 ia menerbitkan novel pertamanya yang diberi judul Han d’Islande, sekaligus hadiah pernikahannya dengan Adele Foucher. Selama tujuh belas tahun berkarya sejak penerbitan pertama, Hugo telah menghasilkan sejumlah kumpulan esai, tiga novel dan lima kumpulan puisi. https://americandreamdrivein.com/

2. Alexander Dumas

Ditahun yang sama dengan Victor Hugo tanah Prancis juga melahirkan seorang sastrawan ternama yaitu Alexander Dumas pada tahun 1802. Bisa dibilang aliran yang dibawa Dumas pun sama dengan Hugo yaitu aliran romantik yang membawanya menekuni novel-novel sejaran dan kisah cinta yang memikan hati hingga karyanya abadi dalam dunia sastra.

Selain itu, Hugo dan Dumas sama-sama terlahir dari seorang ayah yang seorang jendral. Tapi, meski anak seorang jendral Dumas tidak mengenyam pendidikan yang baik karena kesulitan keuangan keluarganya. Pada tahun 1818 ia justru menjadi juru tulis dan terakhir bekerja untuk Duke Orleans yang beberapa tahun kemudian menjadi Raja Louis Philip.

Roman yang sangat terkenal dan sangat luar biasa adalah Tree Mustketeers (1844) yang melambungkan nama Dumas sebagai pengarang dunia. Roman ini mencakup sejarah lebih kurang lima puluh tahun, bermain pada abad ke tujuh belas yang merupakan rangkaian dari Twenty Year After.

3. Sir Walter Scott

Sir Walter Scott merupakan pengarang inggris yang paling tersohor di Inggris bahkan Dunia pada abad ke-19. Lahir di Scotlandia 15 agustus 1771 dan meninggal 91tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 21 september 1832. Lewat cerita-cerita romantic dan puisi naratif yang diangkat dari kisah-kisah sejarah beliau menghasilkan karya-karyanya dan yang paling popular adalah Waverly dan Ivanhoe.

Melewati masa kecil yang kurang bahagia karena masa itu beliau sering sakit-sakitan dan penderitaan itu harus ditanggung seumur hidup berupa kaki yang tidak sempurna. Tidak sama dengan anak-anak pada usianya yang berjalan normal. Oleh sebab itu, pada awalnya karya-karya dipublikasikan bukan dengan namanya sendiri, sebagai akibat dari rasa rendah diri. Akan tetapi, setalah 1825 karyanya muncul dengan namanya sendiri, demikian pula dengan karya-karya sebelumnya setalah dicetak ulang.

4. Emile Zola

Sastrawan ternama yang lahir di Prancis ini merupakan pelopor aliran Naturalisme, corak utama sastra Prancis pada abad ke-17. Sukses pertamanya dimulai dengan melahirkan novel Theresa Requin dan dipuncak karyanya ia melahirkan Germinal yang diikuti karya yang kadangkala dianggap kontroversial, seperti Nana  yang dianggap berbau pornografi.

Karyanya yang lain adalah Les Rougon-Macquar, La Fortune des Rougos, Le Ventre de Paris, Les Heritiers Rabourdin, La Conquete de Plassans, Son Excellence Eugene Rougon, L’Assommoir, Renee, La Debacle, Les Trois, Les Quatre Evangiles, dan L’ouragan.

5. Charles Dickens

Terlahir dengan nama lengkap Charles John Huffmen Dickens, di Landport, Inggris, 17 februari 1812 dan kemudian meninggal di Gadshill, Rochester, 9 Juni 1870. Karir sastranya dimulai pada tahun 1833, melalui cerita-cerita pendek dan esai. Esai pertamanya dipublikasikan adlah A Dinner at Poplar Walk, pada desember 1833 di Mounthly Magazine.

Hingga kini karya Charles Dickens masih dikenang. Salah satu karya yang terkenal adalah Oliver Twist. Novel ini banyak peminatnya, tak heran sampai sekarang masih beredar dipasaran.

Karya lain dari Charles Dickens adalah Pickwik Papper (1836) yang diselesaikan tahun 1837. Tahun 1838 ia menulis Oliver Twist dan kemudian diteruskan dengan Nicholas Nickleby. Sukses kedua buku ini membuat ia memeruskan dengan karya-karya barunya.

6. Leo Tolstoy

Dilahirkan di Yasnaya Polyana, Provinsi Tula, 28 Agustus 1828, meninggal pada 7 november 1910. Pola pikirnya sebagai seorang sastrawan dunia dipengaruhi oleh kesengsaraan hidup seorang yatim piatu. Ia ditingal ibunya saat masih berusia 2 tahun dan ditinggal ayahnya saat berusia 8 tahun.

Karyanya yang lahir di antara 1852 sampai 1857 yaitu Childhood, Boyhood  dan Youth yang mendapat sambutan dikalangan pencinta buku. Berdasarkan pengalamannya, pada tahun 1859 ia menggagas sekolah untuk kaum miskin dikampung halamannya.

Karya-karya Leo sampai saat ini masih bisa dinikmati oleh segala kalangan. Semua karya yang dilahirkan Leo Tolstoy,  bisa membangkitkan rasa kemanusian seriap pembacanya. Diantaranya Anna Karenina dan War And Peace.

7. Rabindranath Tagore

Tagore bukan hanya seorang penyair tapi merupakan suara pada zamannya. Dunia mengakuinya sebagai suara spiritualis India dam masyarakat India menyebutnya legendaris yang pernah hidup. Ia menulis banyak genre dari puisi sampai novel. Karya terkenalnya adalah Gitanjali (Song Offering) yang mengantarkan Tagore meraih Nobel Sastra. Dan tak kalah membagakan, Nobel tersebut menjadi Nobel pertama yang diraih oleh orang asia.

Disamping Gitanjali, Ia juga menulis sekitar 3000 puisi lainnya, sekitar 2000 nyanyian, delapan novel, empat puluh jilid esai dan beberapa kumpulan cerita pendek serta 50 judul lakon.

8. Oscar Wilde

Sastrawan kelahiran Dublin, Irlandia 1854 silam ini terkenal dengan serangannya terhadap kepicikan kaum Victorian. Oscar Wilde selalu tampil perfeksionis dan membela nilai-nilai estetika dalam berseni.

Tokoh-Tokoh Sastrawan Dunia 1

Namanya melambung saat mahakaryanya yang berjudul The Importance of Being Earnest pada tahun 1985. Pada tahun ini juga ia berada di puncak keemasannya. Namun bersamaan dengan itu, ia dituduh homoseksual dan mengakibatkan dirinya ditahan selama dua tahun. Namun kejadian ini malah mendatangkan hikmah baginya. Dalam kejadian ini ia berhasil puisi indah terbaik sepanjang karirnya, yang berjudul Ballad Reading Goal dan senuah otobiografi memikat yang diberi judul De Profundis.

9. Maxim Gorky

Terlahir dengan nama Aleksey Maximovich, sastrawan Rusia ini lahir pada awal tahun 1868 dan meninggal secara misterius di pertengahan tahun 1963. Meskipun Gorky terlahir dari golongan bawah, Ia terus menerus memperluas wawasannya secara otodidak sehingga mampu mengantarkannya menjadi pengarang terkenal.

Dua kumpupan cerpennya yang lahir pada tahun 1898 dan satu lakonnya bertajuk “Suara Malam” mampu membuat namanya mencuat. Puncaknya adalah pada tahun 1906 ketika karya utamanya yang berjudul “The Mother” membuat nama Maxim Gorky makin melambung dikenal dunia. Pada tahun yang sama dengan peraihan karirnya menuju puncak, ia juga menulis City of Yellow Devil yang kemudian menjadi polemik di Amerika Serikat.

Kesenangannya berkelana keluar negeri membawa pengaruh pada pandangannya terhadap masyarakat dan penilaiannya pada pemerintah. Selain itu, latar belakangnya yang terlahir sebagai kaum proletar membuatnya sangat memahami kondisi dan perasaan orang-orang lemah dan menderita. Tak heran jika kemudian ia mendapatkan julukan Bapak Proletar, atau istilah kerennya adalah Bapak Realisme Sosialis.

10. Rudyard Joseph Kipling

Demi mendapatkan pendidikan yang baik, Orang tua Kipling mengirimkan ia bersama saudara perempuannya ke Inggris. Masa kanak-kanak Kipling dihabiskan dengan rasa tertekan karena ia tinggal dengan pensiunan angkatan darat yang menganggap bahwa membaca fiksi adalah suatu dosa. Untungnya, sebulan dalam setahun ia mendapatkan jatah berlibur ke rumah bibinya. Disana ia bisa mengembangkan bakat menulisnya lewat membaca dan menggambar.

Pengalaman masa kecil sastrawan asal India ini kemudian dituangkan olehnya sendiri ke dalam buku “Baa, Baa Blackship”. Sejumlah puisi dari masa kanak-kanaknya kemudian diterbitkan oleh sang ayah serta sejumlah cerita dadi masa remajanya diterbitkan dalam Starley and Co.

Sejarah Seni Sastra Dunia

Sejarah Seni Sastra Dunia

Sejarah Seni Sastra Dunia – Seni telah lama berkembang. Bidang ini juga menjadi bagian dalam perkembangan peradaban Islam. Salah satunya adalah penulisan sastra. Banyak sastrawan bermunculan dengan berbagai karya mereka. Dalam sisi lain, seni musik pun mendapatkan ruang dan para musisi diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya.

Sastra mulai berkembang saat pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Puncaknya, termasuk ke dalam perdagangan, terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Harun Al Rasyid dan putranya, Al Ma’mun. Para sastrawan masa itu banyak melahirkan karya besar. Bahkan, mereka juga memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra pada masa pencerahan di Eropa. taruhan bola

Philip K Hitti dalam bukunya History of The Arabs mengatakan, pada masa itu sastra mulai dikembangkan oleh Abu Uthman Umar bin Bahr Al Jahiz. Ia mendapatkan julukan sebagai guru sastrawan Baghdad. Al Jahiz dikenal dengan karyanya dengan judul Kitab Al Hayawan atau Kitab Hewan. Ini merupakan sebuah antologi anekdot binatang, perpaduan rasa ingin tahu antara fakta dan fiksi. Dia pun menulis karya lain, Kitab Al Bukhala, yang merupakan kajian tentang karakter manusia. sbobet365

Sejarah Seni Sastra Dunia

Perkembangan sastra ini kemudian terus berlanjut hingga mencapai masa puncaknya pada sekitar abad ke-10. www.americannamedaycalendar.com

Bermunculan nama-nama sastrawan yang mempunyai pengaruh besar, yaitu Badi Al Zaman Al Hamadhani, Al Tsa’alibi dari Naisabur, dan Al Hariri. Al Hamadhani diketahui sebagai pencipta maqamat, sejenis anekdot yang isinya dikesampingkan oleh penulisnya untuk mengedepankan kemampuan puitisnya. Akan tetap dari sekitar 400 yang ditulisnya, hanya ada 52 yang masih bisa ditelusuri jejaknya.

Seorang sastrawan lainnya yang bernama Al Hariri, lebih jauh mengembangkan maqamat. Ia menjadikan karya-karya Al Hamadhani sebagai model. Melalui maqamat tersebut, baik Al Hamadhani dan Al Hariri, menyajikan anekdot sebagai alat untuk menyamarkan kritik-kritik sosial terhadap kondisi yang ada di tengah masyarakat.

Menurut Philip K Hitti, sebelum maqamat berkembang, ada sastrawan yang merupakan keturunan langsung Marwan, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah. Sastrawan itu bernama Abu Al Faraj Al Ishbahani. Ia lebih dikenal dengan panggilan Al Ishfahani. Abu Al Faraj tinggal di Aleppo, Suriah, untuk menyelesaikan karya besarnya yaitu Kitab Al Aghni. Ini merupakan sebuah warisan puisi dan sastra yang berharga. Buku ini juga dianggap sebagai sumber utama untuk mengkaji peradaban Islam.

Sejarawan terkenal yang bernama Ibnu Khaldun, menyebut karya Abu Al Faraj sebagai catatan resmi bangsa Arab. Bahkan, saking berharganya karya tersebut, sejumlah figur ternama dalam pemerintahan, seperti Al Hakam dari Andalusia, mengirimkan seribu keping emas kepada Abu Al Faraj sebagai hadiah. Sebelum pertengahan abad yang ke-10, draf pertama dari sebuah karya yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) disusun di Irak. Acuan utama penulisan draf tersebut dipersiapkan oleh Al Jahsyiyari.

Awalnya, ini merupakan karya Persia klasik, Hazar Afsana. Karya itu berisi beberapa kisah yang berasal dari India. Lalu, Al Jahsyiyari juga menambahkan kisah-kisah lain dari penutur lokal. Sastrawan lain yang kemudian muncul pada saat Abbasiyah adalah Abu Al Tayyib Ahmad Al Mutanabbi. Banyak kalangan yang menganggap bahwa dia merupakan sastrawan terbesar.

Abu al-’Ala al-Ma’arri yang hidup antara 973 Masehi hingga 1057 Masehi merupakan sosok lainnya. Ia menjadi salah satu rujukan para sarjana Barat. Puisi-puisi yang dia ciptakan menunjukkan adanya perasaan pesimis dan skeptisme pada zaman ia hidup. Perkembangan sastra ini juga memberikan pengaruh kepada Spanyol.

Dalam konteks ini, tak ada penulis Barat yang mengungkapkan ketertarikan Eropa terhadap sastra Arab dalam bentuk yang lebih dramatis dan puitis dibandingkan penyair asal Inggris William Shakespeare. Hal menarik yang diciptakan Shakespeare ialah Pangeran Maroko yang merupakan salah satu tokoh agung dalam The Merchant of Venice. Pangeran Maroko dibuat dengan meniru Sultan Ahmed al-Mansur yang agung yang menunjukkan martabat kerajaan.

Pada masa pemerintahan Islam, musik juga mengalami perkembangan. Para penguasa pemerintahan Islam yang ada di Baghdad bahkan pergi ke Kordoba untuk memberikan dukungan kepada musisi dan perkembangan musik di sana. Alat musik pun banyak bermunculan. Bahkan, berkembang di luar wilayah Islam.

Misalnya oud, yang berbentuk setengah buah pir, berisi 12 string. Di Italia, oud menjadi il luto. Di Jerman, alat musik menjadi laute. Di Prancis, alat ini menjadi le luth. Di Inggris, ini menjadi lute. Rebab, yang merupakan salah satu bentuk dasar biola, menyebar dari Spanyol ke Eropa dengan nama rebec.

Rebana adalah instrumen musik Arab yang juga diadaptasi oleh dunia Barat. Rebana terbuat dari kayu dan per kamen. Hingga saat ini, rebana masih digunakan di berbagai belahan dunia saat bermusik. Perkembangan musik dan juga alat musik tersebut ditopang pula oleh kegiatan yang biasanya diselenggarakan di istana.

Kurang lebih empat dasawarsa lalu, kritikus sastra yang bernama H.B Jassin berkata bahwa sastra Indonesia adalah warga sastra dunia. Hari-hari ini tampaknya kita mesti berkata bahwa pernyataan Jassin itu benar dalam satu hal: sastra dunia itu milik kita, menjadi bagian dari kehidupan sastra Indonesia mutakhir. Apalagi di zaman “globalisasi” sekarang! Paling tidak, dengan “sastra dunia” itulah para sastrawan kita mempunyai ukuran baik-dan-buruk dalam mencipta dan menilai.

Ya, “sastra dunia.” Dengan tanda kutip. Sebab istilah itu sangat bermasalah. Bagaimana mungkin kita tahu tentang sastra dunia jika itu berarti karya-karya sastra yang ada di seluruh dunia dari berbagai zaman pula?

Pada suatu hari, saya bertanya pada seorang penulis prosa yang suka membanggakan diri mengenal sastra dunia: Apa yang Bung kenal tentang sastra dunia?

Lalu ia menyebut nama-nama, antara lain, Haruki Murakami dan Roberto Bolaño. Dan sejumlah penulis pemenang Hadiah Nobel dan Hadiah Man Booker dalam sepuluh tahun terakhir. Tanpa penulis-penulis itu, katanya, kita akan miskin.

Tapi itu nama-nama yang ada di pasar, yang hot di toko-toko buku di seluruh dunia (juga di Jakarta), begitulah jawab saya.

Saya bertanya lebih lanjut: Jadi untuk Bung sastra dunia itu adalah nama-nama pengarang yang didesakkan pasar buku dunia kepada kita? Lagipula itu hanya buku-buku yang berbahasa Inggris, bukan?

Ketika dia mulai merah-padam, saya bertanya lagi: Apa Bung peduli pada pada karya-karya sastra dari Lithuania, Pantai Gading, Laos, Ecuador, Vanuatu? Apa kita peduli kepada karya-karya yang biarpun dianggap penting dalam bahasa-bahasa nasional masing-masing, tetap tak tersedia terjemahan Inggrisnya?

Ia tercenung lama, dan jawaban kami adalah tidak. Sudah pasti tidak!

Maka di titik ini, kami berdua bersepakat bahwa kami tak mengenal apa itu sastra dunia. Maka, cuma ada “sastra dunia.”

Dengan cara yang sama kita bisa bertanya siapakah penulis dan pengulas sastra di belahan bumi mana saja yang tahu sastra Indonesia? Jawabnya, sangat mungkin adalah: Tidak ada. Atau, belum ada. Kecuali segelintir pakar yang peduli kepada Indonesia—dan melihat sastra Indonesia sebagai bagian dari perhatian mereka kepada Indonesia. Dan kita tahu pula, studi Indonesia di luar negeri semakin susut jumlahnya. (Yang paling terkenal, seperti di Universitas Leiden, bahkan sudah tutup.)

Baiklah. Kita kendurkan sedikit makna “sastra dunia”. Contohnya saja, “sastra dunia” adalah sastra-sastra nasional atau regional yang mungkin dikenal di kancah dunia. Dengan cara ini tampaknya kita bisa menggolongkan “sastra dunia” berdasarkan seberapa jauh bahasa-bahasa pembawanya tersebar ke belahan-belahan bumi.

Golongan pertama ialah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa bekas kaum penjajah—bahasa-bahasa Prancis, Spanyol, Portugis dan—terutama—Inggris. Lagipula, lembaga penerbitan yang ada di khazanah bahasa-bahasa itu memang luar biasa kuatnya, sehingga jadilah mereka agen-agen globalisasi yang kuat. (Maka kita paham mengapa sastra Argentina dan sastra Brasil mudah ditangkap oleh industri perbukuan di dunia ini.)

Golongan kedua ialah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang terpelihara sejak dari masa klasik ke masa modern—misalnya saja, bahasa-bahasa Arab, Turki, Cina, Jepang. Sementara itu, minat dunia akademik di Barat terhadap bahasa-bahasa ini juga sudah melembaga lantaran bangsa-bangsa yang membawa bahasa-bahasa tersebut (pernah) telanjur kuat dalam sebaran agama, perdagangan, dan diaspora terkait.

Golongan ketiga ialah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa Eropa “pinggiran”—misalnya bahasa-bahasa Rusia, Finlandia, Swedia, Cek; bahkan bahasa-bahasa Albania, Polandia, Lithuania. Mereka ini bukan hanya “saudara sepupu” Eropa Barat; dalam lapangan seni budaya, mereka pernah menyumbang banyak kepada gerakan modernisme artistik.

Golongan keempat ialah sastra-sastra dalam bahasa-bahasa setempat yang, betapapun lebih terbaca luas di negeri-negeri bersangkutan, tertutup (kepada dunia luar) oleh sastra berbahasa bekas-penjajah, misalnya Inggris. Ini kasus untuk sastra-sastra yang ditulis dalam  bahasa-bahas Hindi, Tamil, Telugu, Mayalayam, Bengali, Urdu di anak benua India dan Pakistan, misalnya.

Golongan kelima adalah sastra-sastra nasional yang dijajakan oleh bangsa-bangsa yang bersangkutan ke seluruh dunia, sebagai bagian dari kiprah mereka sebagai kekuatan ekonomi dan budaya yang baru. Misalnya saja sastra Korea Selatan dan Cina. (Sebagaimana kita tahu, Korea Selatan, adalah negeri yang sangat bersistem mengembangkan ekonomi kreatif.)

Golongan keenam adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa nasional yang tidak dikenal dunia; dan bangsa-bangsa yang bersangkutan pun tidak menjalankan diplomasi budaya yang genah, yang bisa membuat hasil-hasil seni dan sastra mereka dikenal masyarakat internasional. Sastra Indonesia termasuk ke golongan ini.

Tidak terkira jumlah karya sastra yang telah dihasilkan oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Inilah lautan karya sastra yang keluasaannya tidak akan pernah terjelajahi bahkan oleh mereka yang mengaku pakar sastra bandingan, apalagi oleh pasa sastrawan yang mengaku kenal dengan “sastra dunia.”

Demikianlah, sastra dunia ialah rumah jagal sastra, jika saya boleh meminjam istilah seorang pakar sastra bandingan bernama Franco Moretti. The slaughterhouse of literature. Dalam sejarah sastra dunia sejak dulu hingga sekarang, karya-karya yang dilupakan, lenyap, “dimatikan” dalam gelombang sejarah, jauh lebih banyak daripada karya-karya yang masih dibaca. Sastra dunia adalah the great unread, kata Moretti.

Demikianlah, yang dianggap besar di masa kini banyak yang diremehkan di masanya sendiri. Yang dianggap berjaya di masa sekarang mungkin akan dilupakan di masa-masa mendatang. Yang terkubur di zaman kemarin bisa saja naik ke puncak di zaman esok. Yang dianggap penting di pasar dan dunia akademik mungkin akan menjadi sepele setelah para “agen pemasaran” itu berlalu, begitu juga sebaliknya.

Sejarah Seni Sastra Dunia 1

“Sastra dunia” buat saya adalah sebuah perpustakaan mahabesar. Di situ tersedia semua dokumentasi sastra-sastra nasional di dunia ini dari seluruh zaman. Sayangnya para pustakawan di situ lebih banyak mengarahkan para pengunjung ke sastra-sastra tertentu saja, yang berada di bagian yang bersih dan terang cahayanya. Tidak ada seorang pustakawan pun yang tahu jalan menuju rak sastra Indonesia nun di pojok gelap dan terpencil.

Tentu saja bangsa Indonesia bisa memilih sendiri karya-karya sastra apa yang penting untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat pembaca di luar di sana. Kenapa tidak?

Dan membawa sastra Indonesia ke gelanggang dunia ialah 1001 langkah yang harus direncanakan dan ditempuh dengan cara saksama—dan dalam tempo yang tidak sesingkat-seingkatnya. Terlibat sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Buchmesse pada tahun ini baru satu langkah belaka, barangkali hanya langkah kebetulan. Bahkan jika kita nanti berhasil mengerjakan 1003 langkah pun, kaidah “rumah jagal sastra” tetap akan berlaku bagi sastra-sastra mana pun di dunia ini.

Menerjemahkan ke bahasa-bahasa asing; menarik minat para ahli, agen, penerbit, media dan pembaca mancanegara; bergiat dalam berbagai “diplomasi kebudayaan” yang genah, dan seterusnya—semua itu memerlukan kerja dan komitmen (dan dana) yang sinambung dan bersistem. Perlu kita camkan bahwa dalam soal-soal tersebut negara-negara “kecil” seperti negara Georgia, Israel dan Slovenia jauh lebih siap ketimbang Indonesia.

Tetapi jangan-jangan semua upaya menuju “sastra dunia” itu hanya bisa terlaksana bila bangsa dengan 250 juta warga ini benar-benar jadi bangsa yang gemar membaca dan menulis—bangsa yang mencintai dan merawat bahasa, sastra dan kesenian sendiri. Bukankah mendunia tersebut efek samping belaka dari beresnya kita menata kehidupan di rumah sendiri?

Back to top