Sejarah Seni Sastra Dunia

Sejarah Seni Sastra Dunia – Seni telah lama berkembang. Bidang ini juga menjadi bagian dalam perkembangan peradaban Islam. Salah satunya adalah penulisan sastra. Banyak sastrawan bermunculan dengan berbagai karya mereka. Dalam sisi lain, seni musik pun mendapatkan ruang dan para musisi diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya.

Sastra mulai berkembang saat pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Puncaknya, termasuk ke dalam perdagangan, terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Harun Al Rasyid dan putranya, Al Ma’mun. Para sastrawan masa itu banyak melahirkan karya besar. Bahkan, mereka juga memberikan pengaruh besar terhadap perkembangan sastra pada masa pencerahan di Eropa. taruhan bola

Philip K Hitti dalam bukunya History of The Arabs mengatakan, pada masa itu sastra mulai dikembangkan oleh Abu Uthman Umar bin Bahr Al Jahiz. Ia mendapatkan julukan sebagai guru sastrawan Baghdad. Al Jahiz dikenal dengan karyanya dengan judul Kitab Al Hayawan atau Kitab Hewan. Ini merupakan sebuah antologi anekdot binatang, perpaduan rasa ingin tahu antara fakta dan fiksi. Dia pun menulis karya lain, Kitab Al Bukhala, yang merupakan kajian tentang karakter manusia. sbobet365

Sejarah Seni Sastra Dunia

Perkembangan sastra ini kemudian terus berlanjut hingga mencapai masa puncaknya pada sekitar abad ke-10. www.americannamedaycalendar.com

Bermunculan nama-nama sastrawan yang mempunyai pengaruh besar, yaitu Badi Al Zaman Al Hamadhani, Al Tsa’alibi dari Naisabur, dan Al Hariri. Al Hamadhani diketahui sebagai pencipta maqamat, sejenis anekdot yang isinya dikesampingkan oleh penulisnya untuk mengedepankan kemampuan puitisnya. Akan tetap dari sekitar 400 yang ditulisnya, hanya ada 52 yang masih bisa ditelusuri jejaknya.

Seorang sastrawan lainnya yang bernama Al Hariri, lebih jauh mengembangkan maqamat. Ia menjadikan karya-karya Al Hamadhani sebagai model. Melalui maqamat tersebut, baik Al Hamadhani dan Al Hariri, menyajikan anekdot sebagai alat untuk menyamarkan kritik-kritik sosial terhadap kondisi yang ada di tengah masyarakat.

Menurut Philip K Hitti, sebelum maqamat berkembang, ada sastrawan yang merupakan keturunan langsung Marwan, khalifah terakhir Dinasti Abbasiyah. Sastrawan itu bernama Abu Al Faraj Al Ishbahani. Ia lebih dikenal dengan panggilan Al Ishfahani. Abu Al Faraj tinggal di Aleppo, Suriah, untuk menyelesaikan karya besarnya yaitu Kitab Al Aghni. Ini merupakan sebuah warisan puisi dan sastra yang berharga. Buku ini juga dianggap sebagai sumber utama untuk mengkaji peradaban Islam.

Sejarawan terkenal yang bernama Ibnu Khaldun, menyebut karya Abu Al Faraj sebagai catatan resmi bangsa Arab. Bahkan, saking berharganya karya tersebut, sejumlah figur ternama dalam pemerintahan, seperti Al Hakam dari Andalusia, mengirimkan seribu keping emas kepada Abu Al Faraj sebagai hadiah. Sebelum pertengahan abad yang ke-10, draf pertama dari sebuah karya yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu Malam) disusun di Irak. Acuan utama penulisan draf tersebut dipersiapkan oleh Al Jahsyiyari.

Awalnya, ini merupakan karya Persia klasik, Hazar Afsana. Karya itu berisi beberapa kisah yang berasal dari India. Lalu, Al Jahsyiyari juga menambahkan kisah-kisah lain dari penutur lokal. Sastrawan lain yang kemudian muncul pada saat Abbasiyah adalah Abu Al Tayyib Ahmad Al Mutanabbi. Banyak kalangan yang menganggap bahwa dia merupakan sastrawan terbesar.

Abu al-’Ala al-Ma’arri yang hidup antara 973 Masehi hingga 1057 Masehi merupakan sosok lainnya. Ia menjadi salah satu rujukan para sarjana Barat. Puisi-puisi yang dia ciptakan menunjukkan adanya perasaan pesimis dan skeptisme pada zaman ia hidup. Perkembangan sastra ini juga memberikan pengaruh kepada Spanyol.

Dalam konteks ini, tak ada penulis Barat yang mengungkapkan ketertarikan Eropa terhadap sastra Arab dalam bentuk yang lebih dramatis dan puitis dibandingkan penyair asal Inggris William Shakespeare. Hal menarik yang diciptakan Shakespeare ialah Pangeran Maroko yang merupakan salah satu tokoh agung dalam The Merchant of Venice. Pangeran Maroko dibuat dengan meniru Sultan Ahmed al-Mansur yang agung yang menunjukkan martabat kerajaan.

Pada masa pemerintahan Islam, musik juga mengalami perkembangan. Para penguasa pemerintahan Islam yang ada di Baghdad bahkan pergi ke Kordoba untuk memberikan dukungan kepada musisi dan perkembangan musik di sana. Alat musik pun banyak bermunculan. Bahkan, berkembang di luar wilayah Islam.

Misalnya oud, yang berbentuk setengah buah pir, berisi 12 string. Di Italia, oud menjadi il luto. Di Jerman, alat musik menjadi laute. Di Prancis, alat ini menjadi le luth. Di Inggris, ini menjadi lute. Rebab, yang merupakan salah satu bentuk dasar biola, menyebar dari Spanyol ke Eropa dengan nama rebec.

Rebana adalah instrumen musik Arab yang juga diadaptasi oleh dunia Barat. Rebana terbuat dari kayu dan per kamen. Hingga saat ini, rebana masih digunakan di berbagai belahan dunia saat bermusik. Perkembangan musik dan juga alat musik tersebut ditopang pula oleh kegiatan yang biasanya diselenggarakan di istana.

Kurang lebih empat dasawarsa lalu, kritikus sastra yang bernama H.B Jassin berkata bahwa sastra Indonesia adalah warga sastra dunia. Hari-hari ini tampaknya kita mesti berkata bahwa pernyataan Jassin itu benar dalam satu hal: sastra dunia itu milik kita, menjadi bagian dari kehidupan sastra Indonesia mutakhir. Apalagi di zaman “globalisasi” sekarang! Paling tidak, dengan “sastra dunia” itulah para sastrawan kita mempunyai ukuran baik-dan-buruk dalam mencipta dan menilai.

Ya, “sastra dunia.” Dengan tanda kutip. Sebab istilah itu sangat bermasalah. Bagaimana mungkin kita tahu tentang sastra dunia jika itu berarti karya-karya sastra yang ada di seluruh dunia dari berbagai zaman pula?

Pada suatu hari, saya bertanya pada seorang penulis prosa yang suka membanggakan diri mengenal sastra dunia: Apa yang Bung kenal tentang sastra dunia?

Lalu ia menyebut nama-nama, antara lain, Haruki Murakami dan Roberto Bolaño. Dan sejumlah penulis pemenang Hadiah Nobel dan Hadiah Man Booker dalam sepuluh tahun terakhir. Tanpa penulis-penulis itu, katanya, kita akan miskin.

Tapi itu nama-nama yang ada di pasar, yang hot di toko-toko buku di seluruh dunia (juga di Jakarta), begitulah jawab saya.

Saya bertanya lebih lanjut: Jadi untuk Bung sastra dunia itu adalah nama-nama pengarang yang didesakkan pasar buku dunia kepada kita? Lagipula itu hanya buku-buku yang berbahasa Inggris, bukan?

Ketika dia mulai merah-padam, saya bertanya lagi: Apa Bung peduli pada pada karya-karya sastra dari Lithuania, Pantai Gading, Laos, Ecuador, Vanuatu? Apa kita peduli kepada karya-karya yang biarpun dianggap penting dalam bahasa-bahasa nasional masing-masing, tetap tak tersedia terjemahan Inggrisnya?

Ia tercenung lama, dan jawaban kami adalah tidak. Sudah pasti tidak!

Maka di titik ini, kami berdua bersepakat bahwa kami tak mengenal apa itu sastra dunia. Maka, cuma ada “sastra dunia.”

Dengan cara yang sama kita bisa bertanya siapakah penulis dan pengulas sastra di belahan bumi mana saja yang tahu sastra Indonesia? Jawabnya, sangat mungkin adalah: Tidak ada. Atau, belum ada. Kecuali segelintir pakar yang peduli kepada Indonesia—dan melihat sastra Indonesia sebagai bagian dari perhatian mereka kepada Indonesia. Dan kita tahu pula, studi Indonesia di luar negeri semakin susut jumlahnya. (Yang paling terkenal, seperti di Universitas Leiden, bahkan sudah tutup.)

Baiklah. Kita kendurkan sedikit makna “sastra dunia”. Contohnya saja, “sastra dunia” adalah sastra-sastra nasional atau regional yang mungkin dikenal di kancah dunia. Dengan cara ini tampaknya kita bisa menggolongkan “sastra dunia” berdasarkan seberapa jauh bahasa-bahasa pembawanya tersebar ke belahan-belahan bumi.

Golongan pertama ialah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa bekas kaum penjajah—bahasa-bahasa Prancis, Spanyol, Portugis dan—terutama—Inggris. Lagipula, lembaga penerbitan yang ada di khazanah bahasa-bahasa itu memang luar biasa kuatnya, sehingga jadilah mereka agen-agen globalisasi yang kuat. (Maka kita paham mengapa sastra Argentina dan sastra Brasil mudah ditangkap oleh industri perbukuan di dunia ini.)

Golongan kedua ialah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa yang terpelihara sejak dari masa klasik ke masa modern—misalnya saja, bahasa-bahasa Arab, Turki, Cina, Jepang. Sementara itu, minat dunia akademik di Barat terhadap bahasa-bahasa ini juga sudah melembaga lantaran bangsa-bangsa yang membawa bahasa-bahasa tersebut (pernah) telanjur kuat dalam sebaran agama, perdagangan, dan diaspora terkait.

Golongan ketiga ialah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa Eropa “pinggiran”—misalnya bahasa-bahasa Rusia, Finlandia, Swedia, Cek; bahkan bahasa-bahasa Albania, Polandia, Lithuania. Mereka ini bukan hanya “saudara sepupu” Eropa Barat; dalam lapangan seni budaya, mereka pernah menyumbang banyak kepada gerakan modernisme artistik.

Golongan keempat ialah sastra-sastra dalam bahasa-bahasa setempat yang, betapapun lebih terbaca luas di negeri-negeri bersangkutan, tertutup (kepada dunia luar) oleh sastra berbahasa bekas-penjajah, misalnya Inggris. Ini kasus untuk sastra-sastra yang ditulis dalam  bahasa-bahas Hindi, Tamil, Telugu, Mayalayam, Bengali, Urdu di anak benua India dan Pakistan, misalnya.

Golongan kelima adalah sastra-sastra nasional yang dijajakan oleh bangsa-bangsa yang bersangkutan ke seluruh dunia, sebagai bagian dari kiprah mereka sebagai kekuatan ekonomi dan budaya yang baru. Misalnya saja sastra Korea Selatan dan Cina. (Sebagaimana kita tahu, Korea Selatan, adalah negeri yang sangat bersistem mengembangkan ekonomi kreatif.)

Golongan keenam adalah sastra-sastra yang ditulis dalam bahasa-bahasa nasional yang tidak dikenal dunia; dan bangsa-bangsa yang bersangkutan pun tidak menjalankan diplomasi budaya yang genah, yang bisa membuat hasil-hasil seni dan sastra mereka dikenal masyarakat internasional. Sastra Indonesia termasuk ke golongan ini.

Tidak terkira jumlah karya sastra yang telah dihasilkan oleh bangsa-bangsa di dunia ini. Inilah lautan karya sastra yang keluasaannya tidak akan pernah terjelajahi bahkan oleh mereka yang mengaku pakar sastra bandingan, apalagi oleh pasa sastrawan yang mengaku kenal dengan “sastra dunia.”

Demikianlah, sastra dunia ialah rumah jagal sastra, jika saya boleh meminjam istilah seorang pakar sastra bandingan bernama Franco Moretti. The slaughterhouse of literature. Dalam sejarah sastra dunia sejak dulu hingga sekarang, karya-karya yang dilupakan, lenyap, “dimatikan” dalam gelombang sejarah, jauh lebih banyak daripada karya-karya yang masih dibaca. Sastra dunia adalah the great unread, kata Moretti.

Demikianlah, yang dianggap besar di masa kini banyak yang diremehkan di masanya sendiri. Yang dianggap berjaya di masa sekarang mungkin akan dilupakan di masa-masa mendatang. Yang terkubur di zaman kemarin bisa saja naik ke puncak di zaman esok. Yang dianggap penting di pasar dan dunia akademik mungkin akan menjadi sepele setelah para “agen pemasaran” itu berlalu, begitu juga sebaliknya.

Sejarah Seni Sastra Dunia 1

“Sastra dunia” buat saya adalah sebuah perpustakaan mahabesar. Di situ tersedia semua dokumentasi sastra-sastra nasional di dunia ini dari seluruh zaman. Sayangnya para pustakawan di situ lebih banyak mengarahkan para pengunjung ke sastra-sastra tertentu saja, yang berada di bagian yang bersih dan terang cahayanya. Tidak ada seorang pustakawan pun yang tahu jalan menuju rak sastra Indonesia nun di pojok gelap dan terpencil.

Tentu saja bangsa Indonesia bisa memilih sendiri karya-karya sastra apa yang penting untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat pembaca di luar di sana. Kenapa tidak?

Dan membawa sastra Indonesia ke gelanggang dunia ialah 1001 langkah yang harus direncanakan dan ditempuh dengan cara saksama—dan dalam tempo yang tidak sesingkat-seingkatnya. Terlibat sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt Buchmesse pada tahun ini baru satu langkah belaka, barangkali hanya langkah kebetulan. Bahkan jika kita nanti berhasil mengerjakan 1003 langkah pun, kaidah “rumah jagal sastra” tetap akan berlaku bagi sastra-sastra mana pun di dunia ini.

Menerjemahkan ke bahasa-bahasa asing; menarik minat para ahli, agen, penerbit, media dan pembaca mancanegara; bergiat dalam berbagai “diplomasi kebudayaan” yang genah, dan seterusnya—semua itu memerlukan kerja dan komitmen (dan dana) yang sinambung dan bersistem. Perlu kita camkan bahwa dalam soal-soal tersebut negara-negara “kecil” seperti negara Georgia, Israel dan Slovenia jauh lebih siap ketimbang Indonesia.

Tetapi jangan-jangan semua upaya menuju “sastra dunia” itu hanya bisa terlaksana bila bangsa dengan 250 juta warga ini benar-benar jadi bangsa yang gemar membaca dan menulis—bangsa yang mencintai dan merawat bahasa, sastra dan kesenian sendiri. Bukankah mendunia tersebut efek samping belaka dari beresnya kita menata kehidupan di rumah sendiri?

Anne Larson

Back to top